BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Kelinci adalah ternak yang memiliki bulu eksotis. Kelinci
banyak dibudayakan di Indonesia baik sebagai usaha utama maupun sampingan. Pada
mulanya kelinci dibudidayakan untuk diambil dagingnya, namun dewasa ini kelinci
juga diambil hasil sampingnya berupa kulit dan bulu kelinci sebagai bahan
samak.
Kulit kelinci sebagai hasil samping memiliki nilai
potensial dalam menghasilkan kulit bulu. Kulit kelinci ini dapat digunakan
digunakan sebagai produk jadi yang memiliki nilai ekonomis tinggi (Mustakim,
Imam T, Ipik AR, 2007)
Kulit-bulu kelinci mentah rentan terhadap pembusukan yang
menyebabkan produk tersebut mudah rusak. Penyamakan kulit merupakan salah satu
solusi yang bisa diterapkan untuk pengawetan bulu kelinci. Proses penyamakan
pada kulit kelinci dimaksudkan untuk memperoleh kulit yang tidak mudah rusak
dan kuat (Mustakim, Aris SR, Lisa P, 2007)
Kulit kelinci dapat disamak dengan beberapa metode berdasarkan
bahan penyamaknya, antara lain penyamakan nabati, penyamakan mineral,
penyamakan minyak dan penyamakan secara sintetik.
Penyamakan
kulit bulu secara nabati menggunakan tannin dan mimosa dapat menghasilkan kulit
samak yang berwarna coklat muda dan mimosa memiliki penetrasi yang baik pada
kulit berbulu. Penggunaan mimosa sebagai bahan samak nabati pada kulit samak
bulu dengan tingkat konsentrasi yang berbeda mampu menghasilkan kualitas yang
berbeda pula.
Penyamakan kulit berbulu juga dapat dilakukan dengan metode chrome.
Penyamakan dengan menggunakan bahan samak chrome untuk kulit bulu dilakukan
untuk memperoleh kulit bulu yang tahan lama, kuat, lemas, tahan terhadap air
mendidih dan penyerapan airnya kurang. (Mustakim dkk,2007)
1.2 Rumusan
Masalah
a. Bagaimana
proses pengolahan kulit kelinci dilakukan?
b. Bagaimana
kualitas penyamakan kulit bulu dengan metode crome pada tingkat yang berbeda
terhadap kekuatan kulit samak?
c. Bagaimana
kualitas penyamakan kulit bulu kelinci dengan metode nabati pada prosentase
tannin yang berbeda terhadap kelenturan, dan kekuatan kulit samak?
1.3 Tujuan
a. Untuk
mengetahui proses pengolahan kulit kelinci
b. Untuk
mengetahui kualitas kulit bulu samak dengan metode crome pada tingkat yang
berbeda terhadap kekuatan kulit samak
c. Untuk
mengetahui kualitas kulit bulu samak kelinci dengan metode nabati pada
prosentase tannin yang berbeda terhadap kelenturan, dan kekuatan kulit samak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kulit kelinci yang segar merupakan media yang baik
untuk tumbuh dan berkembang biaknya mikroorganisme, oleh karena itu setelah
ditanggalkan dari hewannya harus segera dilakukan penyamakan, namun popularitas
daging kelinci yang masih rendah dan skala pemeliharaan yang kecil menyebabkan
masih rendahnya ketersediaan kulit kelinci dan sulitnya kontinuitas penyediaannya,
sehingga tidak ekonomis untuk segera melakukan proses penyamakan (Kusmajadi,
2009).
Metode penyamakan dan pengawetan berpengaruh
terhadap kematangan kulit, kuat mulur, dan kekenyalan kulit, sedangkan sifat
organoleptik yaitu kepadatan bulu, kerontokkan bulu, kilapan bulu dan
penampilan bulu hanya dipengaruhi oleh faktor pengawetan. Kuat tarik kulit
tidak dipengaruhi oleh metode penyamakan, pengawetan ataupun oleh interaksi
keduanaya. Kualitas kulit samak bulu dengan penyamakan khrom lebih baik dari
penyamakan formalin. Kulit mentah segar yang langsung diproses/disamak menghasilkan
kulit jadi dengan mutu yang baik, pengawetan garam/penggaraman memberikan hasil
kulit jadi yang mendekati hasil kulit mentah segar (Sasanadharma, 1992).
Kulit
bulu memerlukan perhatian yang lebih daripada kulit lain karena kerusakan
sedikit saja dapat menyebabkan lepasnya bulu dan menjadi botak. Pisau
pengulitan harus berbentuk bundar dan ujungnya harus tumpul. Pengulitan harus
segera dilakukan, sebaiknya sewaktu hewan masih hangat. Pemompaan ialah cara
yang paling baik karena caraini
menimbulkan kerusakan yang terkecil terhadap bulu (Judoamijojo,1981).
Hasil
yang baik dapat diperoleh bila bulu sampai di pabrik penyamakan dalam keadaan
segar dan dalam waktu empat jam setelah pengulitan. Tetapi pada umumya keadaan
tersebut hampir tidak pernah tercapai
maka digunakan bahan pengawet sementara, seperti penggaraman. Pertama-tama
kulit harus dicuci bersih untuk membuang semua darah, kemudian dihamparkan di
meja atau lantai dan taburi garam hingga merata. Bagian perut dilipat kedalam
hingga saling bertemu. Kulit lalu digulung dengan permukaan bulu keluar dan
digulung dari kepala sampai ekor dan diikat dengan baik agar keamanannya
terjamin. Kulit yang diawetkan dengan cara ini mampu bertahan 10 hari (Judoamijojo,1981).
Tujuan
penyamakan ialah untuk memperoleh kulit bulu yang indah dan menarik. Kerusakan
yang dapat menyebabkan botak botak harus dihindari. Penyamakan kulit bulu tidak
dilakukan pengapuran karena dapat merusak epidermis dan bulu (Judoamijojo,1981).
Perandaman
harus berhati hati dan dilakukan secepat mungkin untuk menghindari kemungkinan
rontoknya rambut. Di sini hanya digunakan air dingin. Periode perandaman bagi
kulir bulu yang dikeringkan udara, lebih lama daripada kulit yang digarami
kering atau basah. Maka dapat
ditambahkan garam 3-5% didalam airnya untuk mempercepat periode perendaman.
Kulit yang besar dapat diinjak injak dengan kaki, diangkat dan digerut daging
dengan pisau kulit tumpul. Untuk kulit bulu kecil, larutan garam hanya
dinerikan pada muka daging saja untuk menghindari kerusakan bulu.
Pemikelan
untuk kulit bulu berbeda dengan kulit tanpa bulu, karena kulit bulu tidak
dicelupkan dalam cairan tetapi hanya dilaburkan pada bagian atau permukaan
daging kulit yang dihamparkan pada bingkai atau di ayas meja. Konsentrasi
pemikelan adalan 3,6 kg garam dan 0,3 kg asam sulfat pada 40 liter air (Judoamijojo,1981).
Menurut Thorsense yang dikutip Mustakim dkk (2007), menyatakan bahwa pengasaman
dimaksudkan sebagai perlakuan untuk mencapai pH asam yaitu sekitar 2% atau
lebih rendah lagi.
Menurut
Judoamijojo(1981), macam penyamakan
kulit bulu yaitu menggunakan chrom dan menggunakan
bahan penyamak nabati dan sintetik.
2.1 PENYAMAKAN DENGAN CHROM
Penyamakan
chrom dapat diperoleh kulit bulu yang tahan lama, tahan kelembaban serta panas.
Sifat kulit bulu chrom ternyata sangat menguntungkan, khusus bagi proses pewarnaan.
Kini telah dimungkinkan mewarnai segala macam kulit bulubdengan terlebih dahulu
dikerjakan dengan chrom. Bahan penyamak chrom yan digunakan untuk kulit biasa
antara lain chrom alum dan garam chrom yang dapat juga digunakan untuk kulit
bulu. Metode penyamakn chrom yang disarankan yaitu.
a. Aplikasi
cairan chrom hanya pada muka daging
b. Pencelupan
ke dalam cairan chrom dalam tong (Judoamijojo,1981)
Aplikasi
cairan chrom pada permukaan daging hanya dilakukan jika kulit yang akan
diproses tidak banyak. Makan konsentrasi cairan chrom menjadi 30 sampai 40 gram
chrom dan 60 sampai 100 gram garam biasa dalam tiap 100 liter air.Konsentrasi
bahan penyamak yang digunakan dalam tong harus 4 sampai 6 gram garam chrom dan
30 sampai 40 gram garam biasa tiap 1 liter air. Adapun perbandingan antara
kulit dan cairan adalan 1 : 10 (Judoamijojo,1981).
2.2
PENYAMAKAN DENGAN BAHAN PENYAMAK NABATI DAN SINTETIK
Penyamakan
nabati kulit bulu jika dilakukan tersendiri, tidak akan menghasilkan kulit yang
sama kualitasnya dengan yang disamak dengan bahan penyamak lain. Hasil kulit
samak nabati biasanya mempunyai cirri-ciri agak keras, tidak berdaya lentur dan
tidak supel. Karena itu bahan penyamak nabati jarang dipakai untuk menyamak
kulit bulu. Sifat lain yang kurang disukai ialah bahan penyamak nabati akan
memberi sedikit warna pada kulit dan untuk pewarnaan lain dapat dilakukn dengan
suhu rendah saja.
Tetapi
hasil yang baik dapat diperoleh dengan menggunakan kombinasi bahan penyamak
nabaati dan sintetik. Bila yang diinginkan ialah kulit terang, maka lebih baik
menggunakan bahan penyamakk sintetik saja. Kulit harus dipikel terlabih dahulu
dalam larutan asam sulfat dan garam dapur, dilanjutkan dengan penrisan
sentriffugal dan akhirnya harus disamak dalm larutan penyamak sintetik 30o
– 40o Bkr. Bahan penyamak sintetik digunakan dengan cara sebagai
berikut :
a. Sebagai
penyamak pendahuluan sebalum penyamakan dengan bahan penyamak nabati;
b. Tercampur
dengan bahan penyamak nabati pada waktu proses penyamakan;
Bahan penyamak
sintetik diperlikan untuk kulit yang telah dipekel kira-kira 4 – 5 % dari bobot
kulit bulu pikel yang telah ditiriskan. Bahan penyamak sintetik yang belum dilarutkan
dibubuhkan langsung pada kulit didalam drum, lalu diputar selama 30 menir.
Waktu tersebut dianggap cukup sampai tannin diambil seluruhnya oleh substansi
kulit. Kulit bulu selanjutnya dicuci bersih dengan air untuk membersihkan garam
dan asam berlebih (Judoamijojo,1981).
Peminyakan
atau perlemakan liker
Jika waktu
penyamakan kulit bulu tidak diberi minyak yang disatukan dengan pasta alum,
maka kulit bulu tersebut perludilakukan perlemakan liker. Proses ini dilakukan
setelah penyamakn chrom, netralisai, pencucian dan penirisan. Tujuan peminyakan
ialah untuk restorasi lemak alami yang telah hilang waktu proses sebelumnya
dengan harapan memperoleh sifat supel dan lemas kembali. Bahan lemak yang cocok
intuk keperluan ini umumnya berbantuk cairan seperti minyak ikan, minyak
mineral, minyak nabati atau juga glyserin yang dicampur minyak.
(Judoamijojo,1981).
Sebagian besar
minyak tersulfon kini telah menggantikan minyak-minyak konvensional karena
minyak tersulfon dapat lebih mudah meresap ke dalam jaringan kulit serta
menyebar labih merata. Emulsinya dapat lebih stabil dalam air sadah.
Perlemakan liker
biasa dilakukan pada muka kulitnya dan harus dijaga agar tidak mengenai
rambutnya. Setelah perlemakan liker, kulit bulu ditumpuk dalam keadaan terlipat
sepanjang tulang punggung dan permukaan daging ke dalamselama beberapa jam.
Kemudian kulit bulu digantung pada tonggak dalam ruangan teduh cukup ventilasi,
dimana suhunya tidak lebih dari 30oC. Kulit tersebut jangan
dibiarkan terlalu kering karena masinh memrlkan proses lebih lanjut. Sebaiknya
pada waktu dikeringkan sesekali dilakukan peregangan (Judoamijojo,1981).
Perlakuan lebih
lanjut adalah pembersihan kulit bulu dari segala kotoran, terutama pada wol
atau rambutnya menggunakan serbuk gergaji. Kulit dimasukkan atau dikuburkan ke
dalam serbuk gergajo lembab selama 24 jam. Serbuk gergaji lembab akan
mengabsorbsi kotoran diantara rambut dan memisahkan rambutnya. Proses selanjutnya
ialah pengetunan dengan pisau ketun yang berbantuk setengah bulan atau dengan
alat pengetun lutut. Dengan cara ini serat- serat kulit akan terpisah satu sama
lain sehingga akan menjadi supel (Judoamijojo,1981).
BAB III
PEMBAHASAN
3.1
Proses Penyamakan Kulit Bulu Kelinci
Proses
penyamakan kulit kelinci diawali dengan melakukan penimbangan terhadap kulit
bulu. Setelah dilakukan penimbangan kulit bulu direndam dalam larutan campuran
dari air, teepol dan soda kue. Kulit bulu tersebut diaduk selama 30 menit dan
direndam selama 1 malam. Stelah proses perendaman selesai, dilakuka perendaman
ulang dengan cairan campuran dari air teepol soda kue dan busen. Proses
pengadukan tersebut dilakukan selama 1 jam.
Setelah
proses tersebut selesai maka dilakukan bating, yaitu proses penghilangan
protein menggunakan oropon. Proses bating dilakukan dengan cara mengaduknya
selama 1 jam kemudian dicuci. Setelah proses bating selesai mka dilakukan
flesing, yaitu proses penghilangan daging menggunakan pisau. Kemudian dilakukan
penguatan bulu menggunakan campuran air dan formalin dengan cara diputar dan
direndah semalam. Setelah itu dilakukan proses pengasaman menggunakan campuran
dari air, garam, asam semut dan asam sulfat.
Setelah
proses diatas selesai maka dilakukan pelapisan dengan paste alum oxide,
kemudian shalpeter alum oxide. Setelah selesai kemudian dilakukan retanning
dengan campuran air dan syntan dilakukan dengan cara diputar selama1-2 jam dan
direndam semalam. proses terakhir ialah peminyakan. (Usmiati S, Cristina W,
Djajeng S, 2009)
3.2 Penyamakan kulit berbulu dengan metode nabati
Tanin adalah bahan yang digunakan dalam penyamakan
nabati, prosentase tannin yang digunakan sangat mempengauhi kualitas dari kulit
sama baik dari tingakt kelemasan, kekuatan, dan daya serap air. Menurut
Mustakim dkk, (2007) rata rata kelemasan kulit kelinci samak berbulu dengan
perlakuan prosentase penggunaan tannin sebagai bahan penyamak sebesar 15%
memberikan hasil kelemasan yang tertinggi yaitu 5,2 mm, sedangkan rata rata
kelemasan yang terendah pada kulit kelinci samak berbulu dengan penggunaan
tannin sebesar 25% yaitu 4,3 mm.
Penyamakan
nabati kulit bulu jika dilakukan tersendiri, tidak akan menghasilkan kulit yang
sama kualitasnya dengan yang disamak dengan bahan penyamak lain. Hasil kulit
samak nabati biasanya mempunyai cirri-ciri agak keras, tidak berdaya lentur dan
tidak supel. Karena itu bahan penyamak nabati jarang dipakai untuk menyamak
kulit bulu. Sifat lain yang kurang disukai ialah bahan penyamak nabati akan
memberi sedikit warna pada kulit dan untuk pwarnaan lain dapat dilakukn dengan
suhu rendah saja (Judoamijojo,1981).
Hasil
yang lebih baik akan diperoleh dengan metode kombinasi yaitu nabati san
sintetik, sesuai dengan pendapat Judoamijojo (1981), yang menyebutkan bahwa
hasil penyamakan akan lebih baik jika dengan metode kombinasi nabati dengan
sintetik, karena memiliki tingkat kelemasan yang lebih tinggi dan warna yang
lebih bagus.
3.3 Penyamakan dengan metode krom
Bahan
krom bisa digunakan dengan berbagai dosis antara 6-10%. Penyamakan dengan dosis
yang berbeda akan menghasilkan kulit samak yang berbeda baik dari segi kekuatan
dan kelemasan. hal ini sesuai pendapat mustakim(2007) bahwa perbedaan pengaruh
yang terjadi dalam kekuatan bulu kulit kelinci samak bulu disebabkan oleh
penggunaan krom yang berbeda.
Zat
krom yang biasa digunakan adalah bentuk korium sulfat basa. Zat penyamak
komersial yang paling banyak digunakan mempunyai basisitas 33,33%. Jika zat
penyamak krom ini difiksasikan di dalam subtansi kulit, maka basisitas dari
cairan krom harus dinaikan sehingga mengakibatkan bertambah besar ukuran
partikel zat penyamak krom. Pemakaiannya diperlukan cromosol B=10%. Hal ini
sesuai dengan pendapat Oetojo (1991) yang dikutip Mustakim dkk (2007) yang
menyebutkan bahwa kerataan bulu yang lebih baik dihasilkan dengan penggunaan
Chromosol B sebesar 10%.
Penyamakan
kulit bulu dengan krom (chromosol B) dengan kosentrasi 10 % memberikan hasil
terbaik kekuatan sobek, kekuatan jahit, penyerapan air, kekuatan bulu dan
kerataan bulu (mustakim, 2007)
Berdasarkan
data dari literature metode krom memiliki berbagai kelebihan seperti lebih
tahan lama, tahan panas dan lebih mudah dalam proses pewarnaan.
BAB 1V
PENUTUP
4.1
KESIMPULAN
·
Proses pengolahan kulit kelinci agar memiliki
nilai ekonomis yang lebih adalah dengan cara peyamakan kulit berbulu yang
terdiri dari penyamakan nabati,krom dan sintetik.
·
Penyamakan dengan krom (chromosol B 10%)
memberikan hasil yang paling baik, yaitu memiliki kekuatan, kelemasan dan
memudahkan dalam pewarnaan.
·
Penyamakan kulit bulu kelinci dengan tannin
kosentrasi 15% mamapu menghasilkan kulit samak yang terbaik.
4.2
SARAN
Kulit
samak kelinci memiliki nilai ekonomis yang tinggi, sehingga banyak yang
memanfaatkan kulit bulu kelinci untuk disamak. Disarankan lebih berhati-hati dalam proses penyamakan.
DAFTAR
PUSTAKA
Judoamidjojo, R Muljono.1981. Teknik Penyamakan Kulit Untuk Pedesaan. Bandung
: Angkasa
Mustakim,
Aris SW, Lisa P. 2007. Tingkat Prosentase
Tanin Pada Kulit Kelinci Samak Berbulu Terhadap Kekuatan Jahit, Krkuatan Sobek
Dan Kelemasan. di dalam Ilmu dan Hasil Ternak. Vol 2, No. 1 :Hlm 26-32
Mustakim, Imam T, Ipik AR. 2007. Tingkat Penggunaan Bahan Samak Chrome pada
Kulit Kelinci Samak Bulu Ditinjau Dari Kekuatan Sobek, Kekuatan Jahit,
Penyerapan Air dan Organoleptik. Di dalam Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak.
Vol 2, No. 2 : Hlm 14-25
Sasanadharma, Yansa.1992. Pengaruh
Pengawetan Dan Metode Penyamakan Terhadap Sifat-Sifat Kulit Samak Bulu
Kelinci Rex .http://repository.ipb.ac.id/bitstream
/handle/123456789/10213/Bab%20II%202008nad.pdf?sequence=7.
1Oktober 2011
Suradi,
Kusmajadi.2009. Potensi Dan Peluang Teknologi Pengolahan
Produk Kelinci. http://etd.eprints.ums.ac.id/2233/1/K100040006.pdf . 1
Oktober 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar